Oleh: Mustain Khaitami, SAg (Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Palangka Raya)
SEJARAH mencatat, dua per tiga kekayaan Kota Makkah adalah milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu, Khadijah merupakan seorang bangsawan yang terkenal.
Bisnisnya merambah sejumlah wilayah di jazirah Arab. Bahkan Nabi Muhammad SAW saat beranjak dewasa, pernah berdagang dengan membawa barang milik Khadijah.
Mengutip beberapa sumber, kepribadian mulia dari seorang Muhammad, membuat Khadijah terpikat. Sampai kemudian keduanya menikah dan membina rumah tangga, meski usia yang terpaut 15 tahun.
Pada saat pertama kali menerima wahyu atas pengangkatan kenabian Muhammad, Khadijah menjadi pendamping setia dan menghiburnya. Khadijah pula yang menjadi pembela ketika kafir Quraisy berkali-kali hendak mencelakai Muhammad ketika perintah dakwah terbuka dijalankan. Bahkan kekayaan yang dimilikinya pun diserahkan ke Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan misi kerasulan.
Suatu ketika, Nabi SAW yang baru pulang dari berdakwah, berbaring di pangkuan Khadijah. Begitu lelahnya, hingga Nabi SAW pun tertidur
Sambil membelai kepala Rasulullah dengan kelembutan dan kasih sayang, tak terasa air mata Khadijah jatuh di pipi Nabi SAW, sehingga Rasulullah terjaga dari tidurnya.
“Dahulu engkau wanita mulia dan bangsawan. Kini engkau dihina oleh orang lain. Semua orang menjauhimu. Kekayaanmu habis. Apakah engkau menyesal bersuamikan Muhammad?” tanya Nabi SAW kepada Khadijah.
“Wahai suamiku dan Nabi Allah. Bukan itu yang kami tangisi. Kemuliaan dan kekayaan yang kami miliki, diserahkan pada Allah dan Rasul-Nya. Sekarang kami tak punya apa-apa, tetapi engkau terus memperjuangkan agama ini. Seandainya aku mati namun perjuangan ini belum selesai, maka galilah lubang kuburku. Ambillah tulang belulangku untuk dijadikan jembatan menyeberangi sungai atau lautan,” jawab Khadijah.
Nabi Muhammad SAW membina rumah tangga bersama Sayyidah Khadijah selama kurang lebih 25 tahun. Mereka dikaruniai enam anak yaitu dua putra dan empat putri. Dua putra mereka dinamai Qasim dan Abdullah, sementara empat putri mereka adalah Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.
Pada usia 65 tahun, Khadijah jatuh sakit. Sebagai istri, ia meminta maaf pada Nabi SAW, karena khawatir sebagai istri kurang berbakti pada Rasulullah.
Mendengar permohonan maaf itu, Nabi SAW mengatakan bahwa Khadijah telah mendukung dakwah Islam secara penuh dan benar-benar berbakti pada suami.
Di saat yang berbeda, Khadijah memanggil putrinya Fatimah sambil berbisik bahwa ajalnya akan tiba. Yang ia takutkan adalah siksa kubur. Oleh karenanya, ia meminta tolong kepada Fatimah untuk memintakan sorban yang biasa dipakai Nabi SAW saat menerima wahyu dari Allah.
Dirinya merasa malu dan takut untuk mengatakan hal itu langsung pada Nabi SAW, sehingga ia meminta tolong pada putrinya. Diketahui, sorban itu akan dijadikan kain kafan.
Kemuliaan seorang Khadijah juga mendapat keistimewaan dari Allah SWT. Malaikat Jibril turun dari langit sambil mengucapkan salam dan membawa lima kain kafan.
“Untuk siapa kain kafan ini?” tanya Rasulullah sembari menjawab salam Jibril.
“Kain kafan ini untuk Khadijah, Rasulullah, Fatimah Az-Zahra, Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali. Namun cucumu yang satu, yakni Husein bin Ali tidak memiliki kain kafan. Dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kain kafan dan dimandikan,” jawab Jibril sambil menangis.
Nabi SAW menyadari bahwa tidak akan pernah mendapatkan istri sebaik Khadijah. Pengabdiannya pada Islam dan dirinya sebagai istri, sangat luar biasa. Semua hartanya dihibahkan untuk Islam. Semua pakaian muslimin yang dipakai, termasuk pakaian nabi, didapatkan dari Khadijah.
Sayyidah Khadijah wafat di pangkuan Rasulullah SAW pada 11 Ramadan tahun ke-10 kenabian. Sebagian umat Islam, khususnya di Indonesia, kemuliaan Siti Khadijah dikenang dengan peringatan haul antara lain melalui pembacaan manakib Ummul Mukminin tersebut. (*)