Puasa Cara Berbagai Umat Mendekatkan Diri kepada Sang Pencipta

Oleh: H. Muhammad Syahrun, S.Ag. (Bendahara Umum MUI Palangka Raya)

PUASA telah menjadi bagian dari ajaran sebelum Islam. Banyak umat terdahulu telah melakukan puasa sebagai cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Hal ini pun telah diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana umat sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Namun bagaimana cara mereka berpuasa sebelum Nabi Muhammad SAW diutus membawa Islam?

Merujuk beberapa pendapat, puasa pada umat-umat terdahulu cenderung berbeda dengan yang disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ada puasa tiga hari di pertengahan bulan yang dilakukan Nabi Adam, atau puasa Asyura di bulan Muharram seperti pada zaman Nabi Nuh.

Diriwayatkan, Nabi Adam sewaktu diturunkan dari surga ke muka bumi terbakar kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Pada hari ketiga berada di bumi, ia berpuasa yakni tanggal lima belas.

Kemudian, ia didatangi oleh malaikat Jibril dan ditanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih?” Nabi Adam menjawab, “Tentu saja.” Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada tanggal 13, 14, dan 15.” Nabi Adam pun berpuasa.

Pada hari pertama, memutihlah sepertiga tubuhnya. Pada hari kedua, memutihlah dua pertiga tubuhnya. Pada hari ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka kemudian puasa ini disebut dengan puasa “ayyamul bidh” atau “hari-hari putih”.

Selanjutnya ada puasa ‘Asyura yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Nuh. Ketika itu kapal yang ditumpangi Nabi Nuh baru saja selamat setelah melalui badai besar.

Diceritakan, Nabi Nuh mulai kapalnya pada awal bulan Rajab. Saat itu, ia bersama para penumpang lainnya berpuasa. Kapal pun berlayar hingga enam bulan lamanya. Pada bulan Muharram, kapal berlabuh di gunung Judi, tepat pada hari ‘Asyura.

Sebagai bentuk rasa syukur setelah diselamatkan dari sebuah peristiwa dahsyat, Nabi Nuh pun berpuasa dan memerintahkan para penumpang lain, termasuk hewan bawaannya, untuk turut berpuasa.

Ada lagi puasa Nabi Daud yang dilakukan satu hari lalu berbuka sehari kemudian dan begitu seterusnya. Cara puasa seperti ini dilakukan karena ingin menahan diri dari melakukan hal yang disenangi satu hari lalu berbuka pada hari berikutnya.

Tentang puasa Nabi Daud, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Puasa yang paling utama adalah puasanya Nabi Daud ‘alaihissalam, ia berpuasa sehari dan berbuka (tidak berpuasa) sehari” (HR an-Nasa`i).

Selain beberapa cara puasa yang disebutkan di atas, masih banyak puasa lain yang juga dilakukan umat-umat terdahulu. Sampai kemudian di era Nabi Muhammad SAW, kewajiban berpuasa juga disyariatkan mulai tahun pertama setelah hijrah.

Mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat terdahulu?

Secara garis besar, kita bisa menyimpulkan bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Salat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu adalah bentuk pendekatan kepada Allah sebagai prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Meski dalam tata cara terdapat perbedaan, namun esensi dan tujuannya sama.

Syariat Islam tidak serta merta langsung turun serentak ketika agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW hadir pertama kali di jazirah Arab. Akan tetapi semuanya dilakukan bertahap sesuai dengan konteks dan keadaan umat di masa itu.

Tujuan syariat Islam diturunkan sedikit demi sedikit, yakni agar umat Islam tidak langsung merasa berat ketika menjalankannya. Itulah kenapa setiap syariat memiliki sejarahnya masing-masing, salah satunya puasa Ramadan. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top