Oleh: Mustain Khaitami (Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Kota Palangka Raya)
KETIKA lagi santai kumpul dalam sebuah acara, seorang teman bertanya kepada saya dengan setengah berbisik.
“Bang, mau tanya dikit. Kalau saya punya utang di bank, apakah saya tetap harus bayar zakat.”
Sejenak saya diam sambil memperhatikan wajahnya yang terlihat begitu serius menanti kalimat yang mau saya keluarkan. Namun tanpa menjawab, saya balik bertanya. “Emangnya ngutang di bank buat apa?”
“Kemarin emang ada keperluan untuk beli mobil. Biar gak kredit di pembiayaan.”
“Oh, gitu.”
“Gitu gimana, Bang?”
“Ya begitu. Artinya itu bukan ngutang, tapi ngambil uang gaji sebelum waktunya dengan jaminan SK kepada bank.”
“Duh Abang ini, kalimatnya mutar-mutar tapi benar,” sahut teman tadi dengan tawanya yang langsung pecah.
“Pernah melihat kehidupan petani?” tanyaku dengan wajah serius dan langsung menghentikan tawanya.
“Bukan hanya pernah, tapi orangtua saya petani di kampung.”
“Bagaimana kerjanya?”
“Kalau lagi musim ikan, ke sawahnya sambil bawa pancing dan nasi dari rumah. Kalau dapat ikan lalu dimasak untuk dijadikan lauk. Wuih, jadi kangen suasana kampung.”
“Iya, pergi pagi dan tidak jarang mereka pulang sampai menjelang sore.”
“Betul. Bang. Karena sudah lelah bekerja siang, jadi kalau malam cepat tidurnya,” timpal dia.
“Itu yang Abang maksud. Petani hidup dengan kerja keras di bawah terik matahari, berendam di sawah yang becek, bahkan sering kehujanan. Sehari-hari mereka membersihkan rumput di sawah, mengolah tanah, menanam bibit, membayar pekerja ketika panen, bolak-balik menjemur gabah supaya kering. Tidak sedikit tahapan yang harus mereka lakukan supaya padi yang ditanam bisa menghasilkan.”
“Iya, tanaman juga perlu dipupuk dan dijaga dari hama.”
“Betul. Yang unik, setiap kali habis panen, petani yang menghasilkan sedikitnya 653 kilogram gabah sudah wajib zakat.”
“Tapi pertanian kan beda dengan profesi lain?”
“Memang beda, kok. Dalam agama, kadar zakat pertanian lebih besar ketimbang zakat profesi, zakat perniagaan, zakat perhiasan, maupun zakat harta (mal). Pasti ada hikmah dan rahasia di balik aturan itu. Yang pasti, zakat dikeluarkan setiap kali panen, tidak menunggu satu tahun.”
“Lalu, apa hubungannya?”
“Memang tidak ada hubungan, tapi setidaknya kita bisa berhitung seberapa besar rasa syukur kita terhadap rezeki yang selama ini diterima.”
Teman tadi hanya terdiam, namun terlihat masih menunggu penjelasan lanjutan. “Jika harga gabah sekarang Rp 6.500 per kilogram x 653 kilogram dari hasil pertanian, maka penghasilan kotor petani adalah Rp4.244.500. Kalau dibagi waktu empat bulan dari masa tanam menunggu sampai panen, berarti penghasilan bulannya Rp 1.061.125, sedangkan zakatnya 5 persen setelah dipotong biaya produksi!”
Saya kembali melanjutkan obrolan dengan santai. “Jadi kalau kita digaji bulanan dan jumlahnya lebih dari cukup untuk kebutuhan biaya hidup normal, rasanya terlalu malu kita naik mobil tapi tidak bisa mengeluarkan 2,5 persen untuk berzakat atau berinfak dibandingkan petani.”